Minggu, 28 November 2010

Detik Terakhir (2)

Dira mulai melangkah, menguatkan hati menemui Aji. Air matanya mulai menetes lagi ketika membuka pintu kamar Aji. Aji histeris, Om Lukman di sampingnya. Perlahan Dira mendekat lalu merengkuh Aji, mencoba menenangkannya. Butuh waktu lama untuk menenangkan Aji kembali. Aji mencoba melepaskan pelukan Dira.
“Aku pengen sendiri.”

Senin, 22 November 2010

Detik Terakhir (1)

“Aji, gimana, papamu bisa datang kan ke acara wisudamu?”
“Nggak tahu Ra, Papa terlalu sibuk untuk menghadiri wisudaku. Sampai sekarang aja aku belum bertemu Papa. Beliau masih di luar kota. Mudah-mudahan aja minggu depan Papa udah pulang. Tapi aku nggak berharap banyak kok. Bagi Papa, pekerjaannya adalah segalanya.” Aji berkata sedih.
“Ya udah lah Ji, semua yang Papa kamu lakukan semata-mata demi kamu juga kan. Kalo Kak Adi?”

Senin, 15 November 2010

Pengakuan

“Ica…”
Aku menoleh. Ah Dega…senyum itu masih sama, senyum dari sahabat terbaikku yang bisa membuat aku tak berkedip barang sebentar.
“Hei, malah bengong.” Dega menyenggolku.
Aku tersenyum, kubiarkan dia duduk di dekatku. Aku masih belum bisa melepaskan pandanganku darinya. Yach Dega, satu-satunya sahabat terbaikku saat ini. Dia adalah teman sekelasku dari SD, dan sampai di bangku kuliah pun kita masih satu kelas.

Minggu, 14 November 2010

Contempelation

Jika kamu punya masalah, janganlah kamu pendam masalahmu itu. Berbagilah dengan orang yang bisa kamu percaya. Jika tidak ada orang yang bisa kamu ajak berbagi, maka tuliskan dalam secarik kertas. Jika kamu masih tidak bisa menuliskannya, maka gambarkan. Jika masih tidak bisa menggambarkannya, maka lakukan apa yang bisa kamu lakukan untuk mencurahkan semua masalahmu.
Kadang suatu masalah tak hanya butuh sekedar penyelesaian, tapi juga butuh diungkapkan.

Selasa, 09 November 2010

Rinduku Buat Kak Alam

“Kak, Restya mau ikut Kak Alam tinggal di Solo?” kataku pada Kak Alam waktu itu.
“Kamu kenapa sih Res? Kamu kan bisa tetap tinggal di sini bersama Ayah.”
“Tapi Restya nggak mau Kak tinggal serumah dengan istri mudanya Ayah.”
“Kakak ngerti. Kakak juga nggak suka dengan Tante Farida, tapi kita harus tetep menghormati Ayah Res. Kita boleh nggak mau mengakui Tante Farida sebagai ibu kita, tapi Ayah tetap ayah kita. Kalau kamu juga ikutan pergi, kasihan Ayah. Ayah pasti kesepian.”
“Ayah nggak akan kesepian, selama ini Ayah juga sudah tidak peduli lagi kan dengan kita. Ayah itu terlalu sibuk ngurusi istri barunya. Padahal belum juga setahun Mama meninggal, tapi Ayah sudah menikah lagi. Restya udah nggak mau tinggal di sini Kak. Restya mau ikut Kak Alam aja. Please Kak, boleh ya.” aku memohon.